Oleh : Muhammad Taufik NT
Rasulullah saw bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ القُرُونِ قَبْلَهَا، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ»، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَفَارِسَ وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ
“Hari kiamat tak bakalan terjadi hingga umatku
meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Nabi menjawab: “Manusia mana lagi selain mereka itu?” (HR. Bukhory no. 7319 dari Abu Hurairah r.a)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (w. 852 H) dalam kitabnya, Fathul Bariy (13/301), menerangkan
bahwa hadist ini berkaitan dengan tergelincirnya umat Islam mengikuti
umat lain dalam masalah pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat.
Sekarang dapat kita rasakan kebenaran sabda Beliau
saw, dalam pemerintahan dan pengaturan urusan rakyat, sistem demokrasi
dianggap sebagai sistem terbaik, bahkan tidak jarang hukum Islam pun
dinilai dengan sudut pandang demokrasi, kalau hukum Islam tersebut
dianggap tidak sesuai dg demokrasi maka tidak segan-segan dibuang atau
diabaikan.
Secara ringkas, tulisan ini akan mengkritisi demokrasi, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya dalam sistem pemerintahan.
Pengertian Demokrasi
Dalam teori, demokrasi adalah pemerintahan oleh
rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan
langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem
pemilihan bebas. Lincoln (1863) menyatakan “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”[1]
Secara teori, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang dianggap
berdaulat, rakyat yang membuat hukum dan orang yang dipilih rakyat
haruslah melaksanakan apa yang telah ditetapkan rakyat tersebut.
Selain itu, demokrasi juga menyerukan kebebasan manusia secara menyeluruh dalam hal :
a. Kebebasan beragama
b. Kebebasan berpendapat
c. Kebebasan kepemilikan
d. Kebebasan bertingkah laku
Inilah fakta demokrasi yang saat ini dianut dan
digunakan oleh hampir semua negara yang ada di dunia. Tentu saja dalam
implementasinya akan mengalami variasi-variasi tertentu yang dilatar
belakangi oleh kebiasaan, adat istiadat serta agama yang dominan di
suatu negara. Namun demikian variasi yang ada hanyalah terjadi pada
bagian cabang bukan pada prinsip tersebut.
Asal Usul Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani
δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata
δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada
sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di
negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada
tahun 508 SM.
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk
Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di
Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota
yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali
berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun
diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani
membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi
modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang
kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan
yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga
demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah
model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung.
Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitus yang ditulisnya pada
594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil
membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian
oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut,
tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili
dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan.
Namun dari sekitar 150.000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang
dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.[2]
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, dalam kitabnya Demokrasi Sistem Kufur,
demokrasi mempunyai latar belakang sosio-historis yang tipikal Barat
selepas Abad Pertengahan, yakni situasi yang dipenuhi semangat untuk
mengeliminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi
lahir sebagai anti-tesis terhadap dominasi agama dan gereja terhadap
masyarakat Barat. Karena itu, demokrasi adalah ide yang anti agama,
dalam arti idenya tidak bersumber dari agama dan tidak menjadikan agama
sebagai kaidah-kaidah berdemokrasi. Orang beragama tertentu bisa saja
berdemokrasi, tetapi agamanya mustahil menjadi aturan main dalam
berdemokrasi. Secara implisit, beliau mencoba mengingatkan mereka yang
menerima demokrasi secara buta, tanpa menilik latar belakang dan situasi
sejarah yang melingkupi kelahirannya.
Demokrasi Bertentangan Dengan Islam
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat,
konsekuensinya bahwa hak legislasi (penetapan hukum) berada di tangan
rakyat (yang dilakukan oleh lembaga perwakilannya, seperti DPR).
Sementara dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syara’, bukan di
tangan rakyat. Ketika syara’ telah mengharamkan sesuatu, maka sesuatu
itu tetap haram walaupun seluruh rakyat sepakat membolehkannya.
Disisi lain, kalau diyakini bahwa hukum kesepakatan
manusia adalah lebih baik daripada hukum Allah, maka hal ini bisa
menjatuhkan kepada kekufuran dan kemusyrikan. Ketika Rasulullah saw
membacakan:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At Taubah : 31)
Ady bin Hatimr.a berkata:
يارسول الله انهم لم يكونوا يعبدونهم
Wahai Rasulullah mereka (org nashrany) tidaklah menyembah mereka (rahib).
Maka Rasul menjawab:
اجل ولكن يحلون لهم ما حرم الله فيستحلونه ويحرمون عليهم ما احل الله فيحرمونه فتلك عبادتهم لهم
Benar, akan tetapi mereka (rahib dan org alimnya)
menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah maka mereka (org nashrany)
menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah maka
mereka (nashrany) mengharamkannya pula, itulah penyembahan mereka
(nashrany) kepada mereka (rahib dan org alimnya) [HR. Al Baihaqi, juga diriwayatkan oleh at Tirmidzi dengan sanad Hasan]
Berkenaan dengan kebebasan beragama, Islam memang
melarang memaksa manusia untuk masuk agama tertentu. Namun demikian
Islam mengharamkan seorang muslim untuk meninggalkan aqidah Islam.
Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah dia”.(HR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ashabus Sunan).
Adapun kebebasan berpendapat, Islam memandang bahwa
pendapat seseorang haruslah terikat dengan apa yang ditetapkan oleh
syariat Islam. Artinya seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan
atau menyatakan suatu pendapat kecuali perbuatan atau pendapat tersebut
dibenarkan oleh dalil-dalil syara’ yang membolehkan hal tersebut. Islam
mengharuskan kaum muslimin untuk menyatakan kebenaran dimana saja dan
kapan saja. Rasulullah saw bersabda :
“…Dan kami(hanya senantiasa) menyatakan al-haq
(kebenaran) dimana kami berada, kami tidak khawatir (gentar) terhadap
cacian tukang pencela dalam melaksanakan ketentuan Allah”. (HR Muslim dari Ubadah bin Shamit).
Berkaitan dengan kepemilikan, Islam melarang individu
menguasai barang hak milik umum, seperti sungai, barang tambang yang
depositnya besar, dll, juga melarang cara mendapatkan/mengembangkan
harta yang tidak dibenarkan syara’ seperti riba, judi, menjual barang
haram, menjual kehormatan, dll.
Adapun kebebasan dalam bertingkah laku, Islam
menentang keras perzinaan, homoseksual-lesbianisme, perjudian, khamr dan
sebagainya serta menyediakan sistem sanksi yang sangat keras untuk
setiap perbuatan tersebut. Sementara demokrasi membolehkan hal tersebut,
apalagi kalau didukung suara mayoritas. sehingga tidak aneh kalau dalam
sistem demokrasi, homoseksual yang jelas diharamkan Islampun tetap
dibolehkan asalkan pelakunya sudah dewasa (diatas 18 tahun) dan
dilakukan suka-sama suka[3].
Begitu juga perzinaan asal dilakukan orang dewasa yang suka-sama suka
dan tidak terikat tali perkawinan maka tidaklah dipermasalahkan[4].
Demokrasi = Syuro (Musyawarah)?
Sebagian kalangan menyatakan bahwa Demokrasi itu
sesungguhnya berasal dari Islam, yakni sama dengan syuro (musyawarah),
amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi penguasa. Hal ini
tidaklah tepat karena syuro, amar ma’ruf nahyi munkar dan mengoreksi
penguasa merupakan hukum syara’ yang telah Allah swt tetapkan cara dan
standarnya, yang jauh berbeda dengan demokrasi.
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan
suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian.
Rinciannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’,
yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya
adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah, dimana Rasulullah saw
membuat keputusan yang tidak disepakati oleh mayoritas shahabat, dan
ketika Umar r.a protes, beliau saw menyatakan:
إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
“Aku ini utusan Allah, dan aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia adalah penolongku.” (HR Bukhari)
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian,
kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas.
Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung
berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah
suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
Demokrasi: Cacat Sejak Lahir
Demokrasi sejatinya sistem yang cacat sejak
kelahirannya. Bahkan sistem ini juga dicaci-maki di negeri asalnya,
Yunani. Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the mob.
Ia menggambarkan demokrasi sebagai sebuah sistem yang bobrok, karena
sebagai pemerintahan yang dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan
anarkisme.
Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi
adalah akar demokrasi, sekaligus biang petaka mengapa negara demokrasi
akan gagal selama-lamanya. Plato dalam bukunya, The Republic, mengatakan, “.…they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like”.
(…mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan
kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh
melakukan apa yang disukainya). Orang-orang akan mengejar kemerdekaan
dan kebebasan yang tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan
warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka
hatinya sehingga timbullah bencana disebabkan berbagai tindakan
kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness) dan ketidaksopanan (immodesty).
Menurut Plato, pada masa itu citra negara benar-benar
telah rusak. Ia menyaksikan betapa negara menjadi rusak dan buruk
akibat penguasa yang korup. Karena demokrasi terlalu mendewa-dewakan
(kebebasan) individu yang berlebihan sehingga membawa bencana bagi
negara, yakni anarki (kebrutalan) yang memunculkan tirani.
Kala itu, banyak orang melakuan hal yang tidak
senonoh. Anak-anak kehilangan rasa hormat terhadap orang tua, murid
merendahkan guru, dan hancurnya moralitas. Karena itu, pada perkembangan
Yunani, intrik para raja dan rakyat banyak sekali terjadi. Hak-hak
rakyat tercampakkan, korupsi merajalela, dan demokrasi tidak mampu
memberikan keamanan bagi rakyatnya. Hingga pemikir liberal dari Perancis
Benjamin Constan (1767-1830) berkata: ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Demokrasi Ketuhanan
Karena menganggap demokrasi sebagai konsep yang bagus
walaupun ada kekurangannya, sebagian kalangan ada yang berupaya
mengambil ide demokrasi namun membuang apa yang menurut mereka jelek.
Sehingga mereka katakan, “kita memakai demokrasi namun yang berdaulat tetaplah syara’”
yakni mereka bermaksud berdemokrasi namun hukum syara’ tidak akan
ditolak. Ungkapan seperti ini sebenarnya hanyalah permainan kata-kata
dan definisi saja, seperti orang mau memesan sate ayam namun mereka
syaratkan sate ayamnya tidak menggunakan daging ayam. Dan terhadap hal
seperti ini hendaknya kita berhati-hati menjaga lidah. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan
“dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah 104)
“Raa `ina” berarti “sudilah kiranya kamu memperhatikan kami”.
Di kala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang
Yahudipun memakai pula kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut ”Raa `ina”, padahal yang mereka katakan ialah ”Ru`uunah”
yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah.
Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan ”Raa `ina” dengan ”Unzhurna’‘ yang juga sama artinya dengan ”Raa `ina”.
Kalau masalah pilihan kata saja Allah memperhatikan, padahal dua kata
tersebut kurang lebih artinya sama, lalu baggaimana pula dengan kata
yang memang memiliki pemahaman yang khas seperti demokrasi ini? Tentunya
harus lebih hati-hati lagi.
Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)
Berbeda dengan demokrasi, Islam menggariskan bahwa
sistem pemerintahan yang seharusnya dipakai umat Islam tegak diatas 4
pilar pokok yakni: [5]
Pertama, kedaulatan di tangan
syara’. Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa kedaulatan di
tangan syara’, yakni hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum
bagi manusia, kalaupun semua manusia sepakat menghalalkan yang
diharamkan Allah maka kesepakatan mereka tidak berlaku.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS Al An’am : 57)
Ketika terjadi perselisihan, maka keputusan hukumnya juga wajib menggunakan ketentuan syara’. Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. (QS. An Nisaa’: 59)
Kedua, kekuasaan[6]
di tangan umat, yakni umatlah yang berhak memilih pemimpin yang
dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan. Hal ini dapat dipahami dari
hadis-hadis tentang bai’at, bahwa seseorang tak menjadi kepala negara,
kecuali dibai’at (diangkat) oleh umat.
Ketiga, mengangkat satu orang
khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Ibnu Katsir dalam
tafsirnya (1/222, Maktabah Syamilah) menyatakan:
فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ” . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ
“Adapun pengangkatan dua imam atau lebih di bumi maka hal itu tidak boleh
berdasarkan sabda Beliau saw: “barang siapa datang kepada kalian
sementara urusan kalian bersatu, (orang itu) hendak memecah kalian maka
bunuhlah dia siapapun orangnya“(HR. Muslim) Dan ini
merupakan pendapat jumhur, tidak hanya seorang yang telah menceritakan
adanya ijma’ dalam hal ini, di antara mereka adalah Imamul Haramain.”
Keempat, hanya kepala negara saja yang berhak melegislasikan hukum-hukum syara’.
Hal ini didasarkan pada Ijma’ Shahabat yang melahirkan kaidah syar’iyah yang termasyhur,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Juga kaidah syar’iyah lain yang tak kalah masyhur,”Lil Imam an yuhditsa minal aqdhiyati bi qadri mâ yahdutsu min musykilât.” (Imam (kepala negara) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).
Penutup
Demokrasi yang telah dijajakan Barat ke negeri-negeri
Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya
dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi
bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan
perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau
asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang
dibawanya.
Fakta juga membuktikan kerusakan masyarakat akibat
dipakainya konsep demokrasi ini, bukan hanya di Indonesia, namun juga di
AS yang menjajakan konsep ini. Allahu A’lam. (Insya Allah disampaikan
di Masjid Nurul Falah Banjarbaru, pada 24 Maret 2013)
[1] Melvin I. Urofsky, The Root Principles of Democracy, 2
[3] Lihat Rancangan KUHP BAB XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan (http://news.detik.com, 7/3/13)
[4] Lihat Pasal 284 KUHP
[5] Lihat pembahasan empat pilar Khilafah dalam Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham Al Hukm fi Al Islam, Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah Al Khilafah
[6] Kekuasaan (as sulthan) didefinisikan sebagai otoritas untuk menerapkan hukum-hukum dan perundang-undangan
Baca Juga
_______________________________
Di copy dari: http://mtaufiknt.wordpress.com/2013/03/23/demokrasi-dalam-pandangan-islam
+ komentar + 2 komentar
Demokrasi mirip dengan apa yang dilakukan oleh khawariz. mereka yang menggunakan akal/budaya/adat/konstitusi utnuk menentukan apakah itu baik atau buruk, padahal Rasulullah SAW telah turun dan membawa Al-Qur'an dan sunnah.
Produsen dan pengedar miras di negara demokrasi ini sejak JAman DahULu hingga Sekarang masih dibolehkan beroperasi. Sampai kapan yaa?? #mikir #Islam
Posting Komentar